Monday, March 27, 2006

Senangkan Orang Tua Semasa Hidup!

Usia ayah telah mencapai 70 tahun, namun tubuhnya masih kuat. Dia mampu mengendarai sepeda ke pasar yang jauhnya lebih kurang 2 kilometer untukbelanja keperluan sehari-hari. Sejak meninggalnya ibu pada 6 tahunlalu, ayah sendirian di kampung. Oleh karena itu kami kakak-beradik 5orang bergiliran menjenguknya.

Kami semua sudah berkeluarga dan tinggal jauh dari kampung halaman diTeluk Intan. Sebagai anak sulung, saya memiliki tanggung jawab yanglebih besar. Setiap kali saya menjenguknya, setiap kali itulah istri sayamengajaknya tinggal bersama kami di Kuala Lumpur.

"Nggak usah. lain kali saja.!"jawab ayah. Jawaban itu yang selaludiberikan kepada kami saat mengajaknya pindah. Kadang-kadang ayah mengalah dan mau menginap bersama kami, namun 2 hari kemudian dia minta diantarbalik. Ada-ada saja alasannya.

Suatu hari Januari lalu, ayah mau ikut saya ke Kuala Lumpur. Kebetulan sekolah masih libur, maka anak-anak saya sering bermain danbersenda-gurau dengan kakek mereka. Memasuki hari ketiga, ia mulai minta pulang. Seperti biasa, ada-ada saja alasan yang diberikannya. "Saya sibuk, ayah.tak boleh ambil cuti. Tunggulah sebentar lagi. akhir minggu ini saya akanantar ayah," balas saya. Anak-anak saya ikut membujuk kakek mereka. "Biarlah ayah pulang sendiri jika kamu sibuk. Tolong belikan tiket bus saja yah."katanya yang membuat saya bertambah kesal. Memang ayah pernah berkali-kali pulang naik bus sendirian.

"Nggak usah saja yah." bujuk saya saat makan malam. Ayah diam dan lalu masuk ke kamar bersama cucu-cucunya. Esok paginya saat saya hendak berangkat ke kantor, ayah sekali lagi minta saya untuk membelikannya tiket bus. "Ayah ini benar-benar nggak mau mengerti yah. saya sedangsibuk, sibuuukkkk!!!" balas saya terus keluar menghidupkan mobil.

Saya tinggalkan ayah terdiam di muka pintu. Sedih hati saya melihatmukanya. Di dalam mobil, istri saya lalu berkata, "Mengapa bersikap kasar kepada ayah? Bicaralah baik-baik! Kasihan khan dia.!" Saya terus membisu.

Sebelum istri saya turun setibanya di kantor, dia berpesan agar saya penuhi permintaan ayah. "Jangan lupa, Pa.. belikan tiket buat ayah,"katanya singkat. Di kantor saya termenung cukup lama. Lalu saya meminta ijin untuk keluar kantor membeli tiket bus buat ayah.

Pk. 11.00 pagi saya tiba di rumah dan minta ayah untuk bersiap. "Bus berangkat pk. 14.00," kata saya singkat. Saya memang saat itu bersikap agak kasar karena didorong rasa marah akibat sikap keras kepala ayah.Ayah tanpa banyak bicara lalu segera berbenah. Dia masukkan baju-bajunyakedalam tas dan kami berangkat. Selama dalam perjalanan, kami tak berbicarasepatah kata pun.

Saat itu ayah tahu bahwa saya sedang marah. Ia pun enggan menyapa saya.!Setibanya di stasiun, saya lalu mengantarnya ke bus. Setelah itu saya pamit dan terus turun dari bus. Ayah tidak mau melihat saya, matanyamemandang keluar jendela. Setelah bus berangkat, saya lalu kembali kemobil. Saat melewati halaman stasiun, saya melihat tumpukan kue pisang di atas meja dagangan dekat stasiun. Langkah saya lalu terhenti dan teringat ayah yang sangat menyukai kue itu. Setiap kali ia pulang ke kampung, ia selalu minta dibelikan kue itu. Tapi hari itu ayah tidak minta apa pun.

Saya lalu segera pulang. Tiba di rumah, perasaan menjadi tak menentu. Ingat pekerjaan di kantor, ingat ayah yang sedang dalam perjalanan, ingat Istri yang berada di kantornya. Malam itu sekali lagi saya mempertahankan ego saya saat istri meminta saya menelpon ayah di kampung seperti yang biasa saya lakukan setiap kali ayah pulang dengan bus. Malam berikutnya, istri bertanya lagi apakah ayah sudah saya hubungi. "Nggak mungkin belum tiba," jawab saya sambil meninggikan suara.

Dini hari itu, saya menerima telepon dari rumah sakit Teluk Intan."Ayah sudah tiada." kata sepupu saya disana. "Beliau meninggal 5 menit yang lalu setelah mengalami sesak nafas saat Maghrib tadi." Ia lalu memintasaya agar segera pulang. Saya lalu jatuh terduduk di lantai dengan gagang telepon masih di tangan. Istri lalu segera datang dan bertanya, "Ada apa, bang?"Saya hanya menggeleng-geleng dan setelah agak lama baru bisa berkata,"Ayah sudah tiada!!"

Setibanya di kampung, saya tak henti-hentinya menangis. Barulah saat itu saya sadar betapa berharganya seorang ayah dalam hidup ini. Kue pisang, kata-kata saya kepada ayah, sikapnya sewaktu di rumah, kata-kata istri mengenai ayah silih berganti menyerbu pikiran.

Hanya Tuhan yang tahu betapa luluhnya hati saya jika teringat hal itu.Saya sangat merasa kehilangan ayah yang pernah menjadi tempat sayamencurahkan perasaan, seorang teman yang sangat pengertian dan ayah yang sangat mengerti akan anak-anaknya. Mengapa saya tidak dapat merasakan perasaanseorang tua yang merindukan belaian kasih sayang anak-anaknya sebelum meninggalkannya buat selama-lamanya.

Sekarang 5 tahun telah berlalu. Setiap kali pulang ke kampung, hati sayabagai terobek-robek saat memandang nisan di atas pusara ayah. Saya tidakdapat menahan air mata jika teringat semua peristiwa pada saat-saatakhir saya bersamanya. Saya merasa sangat bersalah dan tidak dapat memaafkandiri ini. Benar kata orang, kalau hendak berbakti sebaiknya sewaktu ayah dan ibu masih hidup. Jika sudah tiada, menangis airmata darah sekalipun tidakberarti lagi.

Kepada pembaca yang masih memiliki orangtua, jagalah perasaan mereka. Kasihilah mereka sebagaimana mereka merawat kita sewaktu kecil dulu.

No comments: