Saturday, October 28, 2006

Uang Korupsi Itu Merusak Anak Saya

*) Jamil Azzaini (16/08/2006 - 12:58 WIB)

Jurnalnet.com (Jakarta): Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan bahwa korupsi di Indonesia sudah terlalu besar dan diluar kontrol. Korupsi sudah merasuki semua sendi kehidupan dan telah terjadi baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pernyataan presiden yang disampaikan pada acara Presidential Lecture di Istana Negara pada Rabu, 2 Agustus 2006, itu mengisyaratkan bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia masih jauh dari harapan.

Kendati pelaku korupsi tampak tak terjamah, tapi yakinkah kita bahwa mereka benar-benar lolos dari jerat hukum? Ngomong-ngomong soal korupsi saya ingin berbagi cerita.

Suatu hari, saya diundang untuk berbicara di depan staff dan pimpinan sebuah perusahaan ternama. Pada kesempatan tersebut saya berbicara tentang "hukum kekekalan energi", yang intinya, menurut hukum kekekalan energi dan semua agama, apapun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita di dunia. Dengan kata lain, apabila kita melakukan "energi positif" atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan "energi negatif" atau keburukan maka kitapun akan mendapat balasan berupa keburukan pula.

Ketika sesi tanya jawab, salah seorang pimpinan di perusahaan itu mengkritik pedas "hukum kekekalan energi". Walau saya sudah menjelaskan dengan beragam argumen ilmiah dan contoh-contoh dalam kehidupan nyata, dia tetap tidak yakin. Sampai kami berpisah, kami masih pada pendapat masing-masing.

Tujuh bulan berlalu, pimpinan itu tiba-tiba menelpon saya. "Pak Jamil, saya ingin bertemu anda," ujarnya singkat.

Karena penasaran, undangan dari beliau saya prioritaskan. Singkat kata, pada waktu dan tempat yang telah disepakati kami bertemu.

Rupanya beliau tiba lebih dulu di tempat kami janjian. Begitu saya datang, beliau segera menyambut dengan sebuah pelukan erat. Cukup lama beliau memeluk saya. "Maafkan saya pak Jamil. Maafkan saya," ucapnya, sambil terisak dan terus memeluk saya. Karena masih bingung dengan kejadian ini saya diam saja.

Setelah kami duduk, beliau membuka percakapan. "Saya sekarang yakin dengan apa yang pak Jamil dulu katakan. Kalau kita berbuat energi positif maka kita akan mendapat kebaikan dan bila kita berbuat energi negatif maka pasti kita akan mendapat keburukan," ujarnya.

"Bagaimana ceritanya sekarang kok bapak jadi yakin?" tanya saya.

"Selama saya menjabat pimpinan di perusahaan itu, saya menerima uang yang bukan menjadi hak saya. Semuanya saya catat. Jumlahnya lima ratus dua puluh enam juta rupiah," katanya.

Sembari menarik napas panjang beliau melanjutkan bercerita. Kali ini tentang anaknya.

Anak saya sekolah di Australia. Karena pengaruh pergaulan, dia terkena narkoba. Sudah saya obati dan sembuh. Ketika liburan, dia ke Amerika dan Kanada. Tidak disangka, disana dia bertemu dengan teman pengguna narkobanya ketika di Australia. Anak saya sebenarnya menolak menggunakan lagi. Namun dia dipaksa dan akhirnya anak saya kambuh lagi, bahkan makin parah, pak."Selama bercerita, beliau tak henti mengusap pipinya yang basah dengan air mata yang terus meleleh seperti tak mau berhenti.

"Pak Jamil tahu berapa biaya pengobatan narkoba dan penyakit anak saya?" Tanpa menunggu jawaban saya, lelaki separuh baya itu berkata lirih,"Biayanya lima ratus dua puluh enam juta rupiah. Sama persis dengan uang kotor yang saya terima, pak!"

Beliau tertunduk dan menggeleng-gelengka n kepala disertai isak tangis yang makin keras. Dengan terbata lelaki itu berkata, "Uang korupsi itu telah merusak anak saya, pak. Sa ya menyesal. Saya bukan orang tua yang baik. Saya telah merusak anak saya, pak!"

Saya peluk erat lelaki itu. Saya biarkan air matanya tumpah. Tangisnya semakin keras....

Wahai saudara, haruskah menunggu anak kita menjadi pengguna narkobadan sakit untuk berhenti korupsi?

Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller.
KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.

Wednesday, October 04, 2006

Saat Si Buah Hati Malas Belajar

Ternyata Televisi Menjadi Penyebab Dominan

ANAK bermasa depan cerah adalah impian setiap orangtua, khususnya para ibu. Berbagai upaya dilakukan demi tercapainya cita-cita si buah hati. Mulai dari menyiapkan buku yang lengkap, tempat belajar yang nyaman, sampai dukungan moral agar si anak mau giat belajar dan mudah dalam menyerap pelajaran. Namun, tidak semua orang tua berhasil meski cara yang sama telah ditempuh. Akibatnya, rasa khawatir akan kegagalan anaknya datang menghantui. Sebanyak 38,4 persen responden Celoteh mengaku anaknya sulit belajar.

Ria dari dua orang anak, dia mengaku selalu khawatir saat melihat anaknya sulit dalam belajar. Pasalnya, hasil ulangan harian selalu kurang memuaskan.”Nilainya tidak jelek, cuma dia bisa dapat nilai lebih baik kalau belajar lebih serius,” kata ibu yang senang makan camilan ini. ”Bagaimana bisa juara kelas kalau nilai harian tidak mendukung?” cetusnya.

Ria juga menambahkan bahwa kegemaran si anak menonton televisi sangat berpengaruh terhadap minat belajarnya yang menurun. ”Banyak acara hiburan di televisi yang mengganggu aktivitas anak dalam belajar. Apalagi jam tayangnya pas dengan waktu anak saya belajar,” ujar ibu berusia 36 tahun ini. ”Sampai-sampai, suami saya larang nonton televisi kalau waktu anak belajar tiba,” lanjutnya.

Sedangkan Sella, dia sering merasa was-was saat menerima rapor kenaikan kelas anaknya. Minimnya keinginan anak untuk belajar membuat ia merasa khawatir jika anaknya harus tinggal kelas. ”Gara-gara tidak naik kelas, waktu setahun terbuang. Padahal, kalau kita bisa lebih care, resiko tersebut dapat kita hindari,” tukas ibu yang senang makan bakso ini.

Sella juga mengaku bahwa kebiasaan anak yang malas belajar merupakan sebab utama mengapa anaknya sulit belajar. ”Kalau disuruh belajar susahnya minta ampun. Alasannya macam-macam. Saya harus pandai-pandai membujuk agar anak mau belajar,” terangnya. ”Kalau ada apotik yang jual obat malas, mungkin saya sudah langganan,” canda ibu yang tinggal di kawasan Gunung Malang ini.

Lain halnya dengan Monik, dia tidak merasa khawatir karena anaknya tidak mengalami kesulitan dalam belajar. Rumah yang asri menjadi alasan mengapa anaknya betah belajar di rumah. ”Suasana rumah saya atur senyaman mungkin. Kamar anak selalu saya bereskan,” papar ibu yang senang berolah raga ini.”Anak saya selalu komplain kalau kamarnya belum dibersihkan. Tidak enak belajar katanya,” tambahnya.

Monik juga selalu meluangkan waktu buat anaknya saat mau belajar. Dia berpendapat bahwa anak akan mudah memahami bila orang tua mendampingi anak ketikabelajar. Dia bilang, ”Kita tidak tahu kapan anak membutuhkan kita. Saya tidak pernah melewatkan saat anak belajar di rumah. Minimal saya tahu apa yang telah dimengerti dan apa yang belum diketahuinya.”

Berbeda dengan Lili, dia mengatakan bahwa buku yang lengkap dapat mempermudah anaknya belajar, sehingga dia merasa tidak perlu ada yang dikhawatirkan. ”Saya sering menambah referensi buku anak dari luar,” jelas ibu yang senang membaca novel ini. ”Bagus buat menambah wawasan. Siapa tahu bisa juara kelas karena ilmu pengetahuan lebih luas,” lanjutnya.

Meskipun hanya sesekali menemani anak belajar, bukan berarti tidak perhatian. Lili mengatakan bahwa anaknya merasa lebih fun bila belajar sendiri. ”Saya menghargai privasi dia. Dengan begitu, anak saya juga bisa belajar menghargai orang lain,” ungkap ibu yang berdarah Sunda ini.(yn)