Monday, May 29, 2006

Renungan bagi yang sibuk berkarir

Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemukadi Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron, putra pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya ia sudah menunggu cukup lama.

"Kok, belum tidur ?" sapa Rudi sambil mencium anaknya.

Biasanya Imron memang sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjagaketika ia akan berangkat ke kantor pagi hari.

Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Imron menjawab, "Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?"

"Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?"

"Ah, enggak. Pengen tahu aja" ucap Imron singkat.

"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp. 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 hari kerja. Sabtu dan Minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?"

Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya. "Kalo satu hari Papa dibayar Rp. 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp. 40.000,- dong" katanya.

"Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur" perintah Rudi

Tetapi Imron tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Papa, aku boleh pinjam uang Rp.5.000,- enggak ?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malambegini ? Papa capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah".

"Tapi Papa..."

Kesabaran Rudi pun habis. "Papa bilang tidur !" hardiknya mengejutkanImron. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya.

Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok Imron dikamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp. 15.000,- ditangannya.

Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata,"Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Imron. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. JangankanRp. 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih" jawab Rudi.

"Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini".

"Iya, iya, tapi buat apa ?" tanya Rudi lembut.

"Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya ada Rp.15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp. 40.000,- maka setengah jam aku harus ganti Rp. 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp. 5.000,- makanya aku mau pinjam dari Papa" kata Imron polos.

Rudi pun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk "membeli" kebahagiaan anaknya.

with Love & Peace

dari milist

Thursday, May 25, 2006

Kecil2 tapi cabe rawit

Seseorang saat melamar kerja, memungut sampah kertas di lantai ke dalam tong sampah, dan hal itu terlihat oleh peng-interview, dan dia mendapatkan pekerjaan tersebut.
* Ternyata untuk memperoleh penghargaan sangat mudah, cukup memelihara kebiasaan yang baik.

Seorang anak menjadi murid di toko sepeda. Suatu saat ada seseorang yang mengantarkan sepeda rusak untuk diperbaiki di toko tsb. Selain memperbaiki sepeda tsb, si anak ini juga membersihkan sepeda hingga bersih mengkilap. Murid-murid lain menertawakan perbuatannya. Keesokan hari setelah sang empunya sepeda mengambil
sepedanya, si adik kecil ditarik/diambil kerja di tempatnya.
* Ternyata untuk menjadi orang yang berhasil sangat mudah, cukup punya inisiatif sedikit saja.

Seorang anak berkata kepada ibunya: "Ibu hari ini sangat cantik." Ibu menjawab: "Mengapa?" Anak menjawab: "Karena hari ini ibu sama sekali tidak marah-marah."
* Ternyata untuk memiliki kecantikan sangatlah mudah, hanya perlu tidak marah-marah.

Seorang petani menyuruh anaknya setiap hari bekerja giat di sawah.Temannya berkata: "Tidak perlu menyuruh anakmu bekerja keras, tanamanmu tetap akan tumbuh dengan subur." Petani menjawab: "Aku bukan sedang memupuk tanamanku, tapi aku sedang membina anakku."
* Ternyata membina seorang anak sangat mudah, cukup membiarkan dia rajin bekerja.

Seorang pelatih bola berkata kepada muridnya:
"Jika sebuah bola jatuh kedalam rerumputan, bagaimana cara mencarinya?"
Ada yang menjawab:
"Cari mulai dari bagian tengah."Ada pula yang menjawab: "Cari di rerumputan yang cekung ke dalam."Dan ada yang menjawab: "Cari di rumput yang paling tinggi."
Pelatih memberikan jawaban yang paling tepat:
"Setapak demi setapak cari dari ujung rumput sebelah sini hingga ke rumput sebelah sana."
* Ternyata jalan menuju keberhasilan sangat gampang, cukup melakukan segala sesuatunya setahap demi setahap secara berurutan, jangan meloncat-loncat.

Katak yang tinggal di sawah berkata kepada katak yang tinggal di pinggir jalan: "Tempatmu terlalu berbahaya,tinggallah denganku."Katak di pinggir jalan menjawab:"Aku sudah terbiasa, malas untuk pindah. "Beberapa hari kemudian katak "sawah" menjenguk katak "pinggir jalan" dan menemukan bahwa si katak sudah mati dilindas mobil yang lewat.
* Ternyata sangat mudah menggenggam nasib kita sendiri, cukup hindari kemalasan saja.

Segerombolan orang yang berjalan di padang pasir, semua berjalan dengan berat, sangat menderita, hanya satu orang yang berjalan dengan gembira. Ada yang bertanya: "Mengapa engkau begitu santai?"Dia menjawab sambil tertawa: "Karena barang bawaan saya sedikit."
* Ternyata sangat mudah untuk memperoleh kegembiraan, cukup tidak serakah atau memiliki secukupnya saja....

The First Step is The Hardest Step

dari sebuah milist

Thursday, May 11, 2006

Mengatasi Penyakit Dalih

Sumber: Mengatasi Penyakit Dalih oleh Paulus Winarto.

Sembilan puluh sembilan persen kegagalan datang dari orang yang punya kebiasaan suka membuat alasan, begitu kata George Washington Carver. Daripada mencari jalan keluar, mereka memilih untuk membuat 1001 dalih mengenai kegagalan mereka. Alhasil, kesempatan belajar pun terlewatkan begitu saja.

Dalam buku The Magic of Thinking Big, David J. Schwartz menjelaskan mengenai penyakit pikiran yang mematikan alias penyakit dalih (excuisitis). Orang-orang gagal senantiasa berdalih mengenai kegagalan mereka. Penyakit dalih tersebut biasanya muncul 4 bentuk, yaitu: dalih kesehatan, dalih inteligensi, dalih usia dan dalih nasib.

Dalih kesehatan biasanya ditandai dengan ucapan, "Kondisi fisik saya tidak sempurna", "Saya tidak enak badan", "Jantung saya lemah", dan sejenisnya. Orang sukses tidak pernah menganggap cacatnya itu sebagai hambatan. Ada seseorang yang menderita polio namun dikenal sebagai dokter spesialis ginjal sukses dan murah hati.

Sejumlah besar tokoh-tokoh dunia bahkan punya cacat fisik.Presiden Amerika ke-32 Franklin Delano Roosevelt menderita polio, Shakespeare lumpuh, Beethoven tuli, Napoleon Bonaparte memiliki postur tubuh yang sangat pendek.

Dalih inteligensi diitandai dengan ucapan, "Saya kan tidak pintar","Saya kan bukan rangking teratas", "Dia lebih pandai", dan sejenisnya. Inilah dalih yang paling umum ditemukan. Tanpa bermaksud mengecilkan arti sekolah, tidak perlu jadi profesor agar Anda bisa sukses.

Selanjutnya, dalih usia yang ditandai dengan ucapan, "Saya terlalu tua", "Saya masih terlalu muda", "Biarkan yang lebih tua yang duluan", dan sejenisnya. Padahal tidak ada batasan usia dalam meraih sukses. Kolonel Sanders memulai usahanya di usia 65 tahun.

Berikutnya adalah dalih nasib, misalnya dengan mengatakan , "Aduh, nasib saya memang selalu jelek", "Itu sudah nasibku", "Itu memang takdir" Memang amat mudah untuk selalu menyalahkan nasib. Padahal nasib kita ditentukan oleh kita sendiri. Tuhan telah memberikan hidup dengan sejumlah pilihan.

Lihatlah betapa banyaknya orang yang memilih berdiam diri daripada melakukan apa yang bisa mereka perbuat. Padahal apapun yang layak diraih layak diupayakan dengan seluruh kemampuan yang kita miliki. Sayangnya, potensi diri ini kerap hanya terkubur karena kebiasan kita membuat dalih jika apa yang kita kerjakan tidak berjalan sesuai harapan kita atau hasilnya tidak segera kelihatan. Gaya hidup modern yang serba instant secara tidak langsung membuat kita sering mengharapkan hasil yang instant pula. Kita kepengen sekali makan durian tanpa mau menanam, menyiram, memupuki dan merawat pohonnya.

Kita mungkin pernah membaca/mendengar cerita tentang ilmuwan besar seperti Albert Einstein yang pernah diusir dari sekolah karena dianggap lamban. Ia bahkan mendapat nilai buruk dalam pelajaran bahasa Yunani karena ingatannya yang lemah. "Tak peduli apa pun yang kamu lakukan, kamu takkan dapat melakukan apa-apa," kata gurunya.

Ingatlah Thomas Alva Edison yang hanya bersekolah beberapa bulan namun tercatat sebagai pencipta terbesar sepanjang jaman dengan lebih dari 1.000 hak paten. "Saya mempunyai banyak ide tapi hanya sedikit waktu," ujarnya. Edison gagal di sekolah. Gurunya merasa Edison tidak punya minat belajar, pemimpi dan mudah sekali terpecah konsentrasinya. Yang sungguh membuat saya terharu adalah sikap Ibu Edison terhadap putranya. Ia terus mengajari Edison di rumah dan setiap kali Edison gagal, ibunya memberi harapan dan mendorongnya untuk terus berusaha.

Kalau orang gagal senantiasa berkata "itu tidak mungkin berhasil" maka orang sukses lebih suka berkata "mengapa tidak mencobanya dulu ?".

Daripada membuat alasan, orang sukses memilih untuk mencari cara mewujudkan impian mereka. Daripada berdiam diri dan menunggu datangnya kesempatan, mereka memilih pergi keluar dan menemukan kesempatan itu. Bahkan mereka mampu menciptakan kesempatan dalam kesempitan. E.M. Gray menegaskan, orang-orang sukses mempunyai kebiasaan melakukan hal-hal yang tidak suka dilakukan orang gagal. Jika saat ini Anda masih suka membuat dalih, buatlah komitmen untuk mengubah kebiasaan itu. Jangan biarkan potensi diri Anda dibelenggu oleh dalih-dalih Anda. Ingat selalu nasihat Theodore Roosevelt, "Lakukan apa yang Anda bisa, dengan apa yang Anda miliki, di mana pun Anda berada."

Sebagai akhir, ada sebuah syair dari Afrika berjudul Perlombaan Saat Matahari Terbit. Setiap pagi di Afrika, seekor rusa bangun. Ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat daripada singa tercepat. Jika tidak, ia akan terbunuh. Setiap pagi seekor singa bangun, ia tahu bahwa ia harus berlari lebih cepat daripada rusa terlamban. Jika tidak, ia akan matikelaparan. Tidak penting apakah Anda adalah sang rusa atau sang singa. Saat matahari terbit, Anda sebaiknya mulai berlari.

Saturday, May 06, 2006

Bid'ah Secara Etimologis dan Terminologis

Salah satu isu besar yang mengancam persatuan umat Islam adalah isu bid'ah. Akhir-akhir ini, kata itu makin sering kita dengar, makin sering kita ucapkan dan makin sering pula kita gunakan untuk memberi label kepada saudara-saudara kita seiman. Bukan labelnya yang dimasalahkan, tapi implikasi dari label tersebut yang patut kita cermati, yaitu anggapan sebagian kita bahwa mereka yang melakukan bid'ah adalah aliran sesat. Karena itu aliran sesat, maka harus dicari jalan untuk memberantasnya atau bahkan menyingkirkannya. Kita merasa sedih sekarang ini, makin banyak umatIslam yang menganggap saudaranya sesat karena isu bid'ah dan sebaliknyakita makin prihatin sering mendengar umat Islam yang mengeluh atau menyatakan sakit hati dan bahkan marah-marah karena dirinya dianggap sesat oleh temannya.

Yang paling mudah kita baca dari kasus tersebut adalah adanya trend makin maraknya umat Islam saling bermusuhan dan saling mencurigai sesama mereka dengan menggunakan isu bid'ah. Mari kita renungkan, apakah kondisi seperti itu harus terjadi terus menerus di kalangan umat Islam? Di beberapa negara Muslim, seperti di Pakistan, isu itu telah menyulut perang saudara berdarah antar umat Islam hingga saat ini. Sudah tak terhitung nyawa yang melayang karena pertikian seperti itu.

Mari kita simak sejenak fatwa Syeh Azhar Atiyah Muhammad Saqr yang dikeluarkan pada tahun 1997. Bahwa sebenarnya isu bid'ah yang berkembang di masyarakat Muslim saat ini disebabkan oleh perbedaan memaknai bi'dah apakah secara etimologis (bahasa) atau terminologis (istilah). Syeh Atiyah menjelaskan lebih jauh: Dalam kitab "Al-Nihayah fi Gharibil Hadits wal Athar" karangan Ibnu Atsir dalam pembahasan "ba da 'a" (asal derivatif kata bid'ah) dan dalam pembahasan hadist Umar r.a. masalah menghidupkan malam Ramadhan: " Inilah sebaik-baik bid'ah", dikatakan bahwa bid'ah terbagi menjadi dua, ada 1) bid'ah huda (bid'ah benar sesuai petunjuk) dan ada 2) bid'ah sesat. Bid'ah yang betentangan dengan perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itulah bid'ah yang dilarang dan sesat. Dan bid'ah yang masuk dalam generalitas perintah Allah dan Rasulnya s.a.w. maka itu termasukbid'ah yang terpuji dan sesuai petunjuk agama. Apa yang tidak pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. tapi sesuai dengan perintah agama, termasuk pekerjaan yang terpuji secara agama seperti bentuk-bentuk santunan sosial yang baru. Ini juga bid'ah namun masuk dalam ketentuan hadist Nabi s.a.w. diriwayatkan dari Jarir bin Abdullah oleh Imam Muslim: "Barang siapa merintis dalam Islam pekerjaaan yang baik kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan sama dengan orang melakukannya tanpa dikurangi sedikitpun. Dan barangsiapa merintis dalam Islam pekerjaan yang tercela, kemudian dilakukan oleh generasi setelahnya, maka ia mendapatkan dosa orang yang melakukannya dengan tanpa dikurangi sedikitpun" (H.R. Muslim).

Stateman Umar bin Khattab r.a. "Inilah bid'ah terbaik" masuk kategori bid'ah yang terpuji. Umar melihat bahwa sholat tarawih di masjid merupakan bid'ah yang baik, karena Rasulullah s.a.w. tidak pernah melakukannya, tapi Rasulullah s.a.w. melakukan sholat berjamaah di malam hari Ramadhan beberapa hari lalu meninggalkannya dan tidak melakukannya secara kontinyu, apalagi memerintahkan umat islam untuk berjamaah di masjid seperti sekarang ini. Demikian juga pada zaman Abu Bakar r.a. sholat Tarawih belum dilaksanakan secara berjamaah. Umar r.a. lah yang memulai menganjurkan umat Islam sholat tarawih berjamaah di masjid.

Para ulama melihat bahwa melestarikan tindakan Umar tesebut, termasuk sunnah karena Rasulullah s.a.w. pernah bersabda "Hendaknya kalian mengikuti sunnahku dan sunnah Khulafaurrashiidn setelahku" (H.R. IbnuMajah dll.) Rasulullah s.a.w. juga pernah bersabda: "Ikutilah dua orang setelahku, yaitu Abu Bakar dan Umar". (H.R. Tirmidzi dll).

Dengan pengertian seperti itu, maka menafsirkan hadist Rasulullah s.a.w. yang artinya "setiap baru diciptakan dalam agama adalah bid'ah" harus dengan ketentuan bahwa hal baru tersebut memang bertentangan dengan aturan dasar syariat dan tidak sesuai dengan ajaran hadist. Mengkaji masalah bid'ah memerlukan pendefinisian yang berkembang dan muncul di seputar penggunaan kata bid'ah tersebut. Perbedaan definisi bisa berpengaruh pada perbedaan hukum yang diterapkan. Tanpa mendefinisikan bid'ah secara benar maka kita hanya akan terjerumus pada perbedaan hukum, perbedaan pendapat dan bahkan pertikaian. Demikian juga mendefinisikan bid'ah yang sesat dan masuk neraka, tidaklah mudah.

Dari beberapa literatur Islam yang ada, dapat disimpulkan sebagai berikut: Para ulama dalam mendefinisikan bid'ah, terdapat dua pendekatan yaitu kelompok pertama menggunakan pendekatan etimologis (bahasa) dan kelompok kedua menggunakan pendekatan terminologis (istilah).

Golongan pertama mencoba mendefinisikan bid'ah dengan mengambil akar derivatif kata bid'ah yang artinya penciptaan atau inovasi yang sebelumnya belum pernah ada. Maka semua penciptaan dan inovasi dalam agama yang tidak pernah ada pada zaman Rasulullah s.a.w. disebut bid'ah, tanpa membedakan antara yang baik dan buruk dan tanpa membedakan antara ibadah dan lainnya. Argumentasi untuk mengatakan demikian karena banyak sekali ditemukan penggunakan kata bid'ah untuk baik dan kadang kala juga digunakan untuk hal tercela.

Imam Syafi'i r.a. berkata: "Inovasi dalam agama ada dua. Pertama yang bertentangan dengan kitab, hadist dan ijma', inilah yang sesat. Kedua inovasi dalam agama yang baik, inilah yang tidak tercela."

Ulama yang menganut metode pendefinisan bid'ah dengan pendekatan etimologis antara lain Izzuddin bin Abdussalam, beliau membuat kategori bid'ah ada yang wajib seperti melakukan inovasi pada ilmu-ilmu bahasa Arab dan metode pengajarannya, kemudian ada yang sunnah seperti mendirikan madrasah-madrasah Islam, ada yang diharamkan seperti merubah lafadzal-Quran sehingga keluar dari bahasa Arab, ada yang makruh seperti mewarna-warni masjid dan ada yang halal seperti merekayasa makanan. Golongan kedua mendefinisikan bid'ah adalah semua kegiatan baru di dalam agama, yang diyakini itu bagian dari agama padahal sama sekali bukan dari agama. Atau semua kegiatan agama yang diciptakan berdampingan dengan ajaran agama, dan disertai keyakinan bahwa melaksakan kegiatan tersebut merupakan bagian dari agama. Kegiatan tersebut mencakup bidang agama dan lainnya. Sebagian ulama dari golongan ini mengatakan bahwa bid'ah hanya berlaku di bidang ibadah.

Dengan definisi seperti ini, semua bid'ah dalam agama dianggap sesat dan tidak perlu lagi dikategorikan dengan wajib, sunnah, makruh dan mubah. Golongan ini mengimplementasikan hadist yang artinya "setiap bid'ah adalah sesat", terhadap semua bid'ah yang ada sesuai defisi tersebut. Demikian juga statemen imam Malik:"Barang siapa melakukan inovasi dalam agama Islam dengan sebuah amalan baru dan menganggapnya itu baik, maka sesungguhnya ia telah menuduh Muhammad s.a.w. menyembunyikan risalah, karena Allah s.w.t. telah menegaskan dalam surah al-Maidah:3 yang artinya " Pada hari ini telahKusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu ni'mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu", adalah dalam konteks definisi bid'ah di atas. Adapun pernyataan Umar r.a. dalam masalah sholat Tarawih bahwa "itu sebaik-baik bid'ah" adalah bid'ah dalam arti bahasa (etimologis).

Lepas dari kajian bid'ah di atas, sesungguhnya tema bid'ah merupakan tema yang cukup rumit dan panjang dalam sejarah pemikiran Islam. Pelabelan ahli bid'ah terhadap kelompok Islam tertentu mulai marak dan muncul, pada saat munculnya polemik dan konflik pemikiran dalam dunia Islam. Merespon polemik pemikiran Islam tersebut, Abu Hasan Al-Asy'ari (meninggal tahun304 H) menulis buku "Alluma' fi al-radd 'ala Ahlil Zaighi wal Bida'"(Catatan Singkat untuk menentang para pengikut aliran sesat dan bid'ah).

Setelah itu muncullah kajian-kajian yang makin marak dan gencar dalam mengulas masalah bid'ah.I mam Ghozali dalam Ihya' Ulumuddin (1/248) menegaskan:"Betapa banyak inovasi dalam agama yang baik, sebagaimana dikatakan oleh banyak orang, seperti sholat Tarawih berjamaah, itu termasuk inovasi agama yang dilakukan oleh Umar r.a.. Adapun bid'ah yang sesat adalah bid'ah yangbertentangan dengan sunnah atau yang mengantarkan kepada merubah ajaran agama. Bid'ah yang tercela adalah yang terjadi pada ajaran agama, adapun urusan dunia dan kehidupan maka manusia lebih tahu urusannya, meskipun diakui betapa sulitnya membedakan antara urusan agama dan urusan dunia, karena Islam adalah sistem yang komprehensif dan menyeluruh. Ini yang menyebabkan sebagian ulama mengatakan bahwa bid'ah itu hanya terjadi dalam masalah ibadah, dan sebagian ulama yang lain mengatakan bid'ah terjadi di semua sendi kehidupan.

Akhirnya juga bisa disimpulkan bahwa bid'ah bisa terjadi dalam masalah aqidah, ibadah, mu'amalah (perniagaan) dan bahkan akhlaq. Yang perlu digarisbawahi adalah bahwa semua tingkah laku dan pekerjaan Rasulullah s.a.w. adalah suri tauladan bagi umatnya. Apakah semua pekerjaan Rasulullahs.a.w. dan tingkah lakunya wajib diikuti 100 persen, ataukah sebagian itu sunnah untuk diikuti dan sebagian bolah tidak diikuti? Apakah meninggalkan sebagian pekerjaan yang pernah dilakukan Rasulullah s.a.w. (yang bukan termasuk ibadah) dosa atau tidak?

Contohnya seperti adzan dua kali waktu sholat Jum'at, menambah tangga mimbar sebanyak tiga tingkat, melakukan sholat dua rakaat sebelum Jum'at, membaca al-Quran dengan suara keras atau memutar kaset Qur'an sebelum sholat Jum'at, muadzin membaca sholawat dengan suara keras setelah adzan, bersalaman setelah sholat, membaca"sayyidina" pada saat tahiyat, mencukur jenggot. Sebagian ulama menganggap itu semua bid'ah karena tidak pernah dilakukan pada zaman Rasulullah dan sebagian lain menganggap itu merupakan inovasi beragama yang diperbolehkan dan baik, dan tidak betentangan dengan ketentuan umum agama Islam.

Demikian juga masalah peringatan maulid nabi dan peringatan Islam lainnya, seperti Nuzulul Qur'an, Isra' Mi'raj, Tahun Baru Hijriyah, sebagian ulama melihat itu bid'ah dan sebagian lainnya menganggap itu bukan bid'ah sejauh diisi dengan kegiatan-kegiatan agama yang baik.

Perbedaan para ulama di seputar masalah tersebut terkembali pada perbedaan mereka dalam mengartikan bid'ah itu sendiri, seperti dijelaskan di atas.Yang perlu kita garis bawahi lagi, bahwa ajaran agama kita dalam merubah kemungkaran yang disepakati bahwa itu kemungkaran adalah dengan cara yang ramah dan nasehat yang baik. Tentu merubah kemungkaran yang masih dipertentangkan kemungkarannya juga harus lebih hati-hati dan bijaksana.

Permasalahan yang masih menjadi khilafiyah (terjadi perbedaan pendapat) diantara para ulama, tidak seharusnya disikapi dengan bermusuhan dan percekcokan, apalagi saling menyalahkan dan menganggap sesat. Mereka yangmenganggap dirinya paling benar dan menganggap akidahnya yang paling selamat, dan lainnya adalah sesat dan rusak, hendaklah ia berhati-hati karena jangan-jangan dirinya telah terancam kerusakan dan telah dihinggapi oleh "teologi permusuhan".

Wallahu a'lam bissowab
Muhammad Niam

Bahan Bacaan:Fatawa Azhariyah, Fatwa Syah Atiyah Muhammad Saqr, tahun 1997.

www.pesantrenvirtual.com

Wednesday, May 03, 2006

Hidup Cukup

Oleh: Radhar Panca Dahana


Bang Uki telah lebih dari 20 tahun berdagang nasi uduk di pinggir Pasar Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Uduk yang sungguh enak. Tiap pagi puluhan orang antre untuk makan di tempat atau dibawa pulang. Paling lama dua jam saja seluruh dagangan Bang Uki ada empal, telur, semur daging, tempe goring ludes habis. Begitu setiap hari, selama 20 tahun lebih.

Pertengahan 1980-an, ekonomi Orde Baru tengah menanjak ke puncak ketinggiannya. Bang Uki, dengan ritme stabil batang pohon cabai yang terus berproduksi, belanja pukul satu dinihari, masak pukul dua, berangkat pukul empat, dan seusai subuh telah menggelar barang dagangnya. Tepat jam tujuh pagi, semua tuntas. Pukul sepuluh, ia sudah nongkrong di teras rumah, lengkap dengan kretek, gelas kopi, dan perkutut. “Tinggal nunggu lohor,” tukasnya pendek.

Berulang kali pertanyaan bahkan desakan untuk membuka kios terbukanya hingga lebih siang sedikit ditolak Bang Uki. “Buat apa?” tukasnya. “Gua udah cukup. Anak udah lulus es te em, Berdua bini gua udah naik haji. Apalagi?” Pernah sekali penulis jumpai ia sedang memasak di rumahnya. Langit di luar masih gelap. Kedua mata Bang Uki terpejam. Tangannya lincah mengiris bawang merah. Saya menegur. Tak ada reaksi. “Abah masih tidur,” istrinya balas menegur.

Kini, 15 tahun kemudian, Bang Uki sudah pensiun. Wajahnya penuh senyum. Hidupnya penuh, tak ada kehilangan. Kami yang kehilangan, masakan sedap khas Betawi. Kami sedikit tak rela. Bang Uki terlihat begitu ikhlasnya, wajahnya terang saat ia dimandikan untuk terakhir kalinya. Dua jam berdagang, enam jam bekerja, telah mencukupkan hidupnya.

Dan Bang Uki tidak sendiri. Nyi Omah juga tukang uduk di Pasar Jumat, Pak Haji Edeng tukang soto Pondok Pinang, pun begitu. Tukang pecel di Solo, gudeg di Yogya, nasi jamblang di Cirebon atau bubur kacang hijau di Bandung, juga demikian. Mereka yang bekerja dan berdagang untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Jika telah cukup, untuk apa bekerja lebih. Untuk apa hasil, harta atau uang berlebih? “Banyak mudaratnya,” kilah Pak Haji Edeng.

Mungkin. Apa yang kini telah jelas adalah perilaku bisnis dan ekonomi tradisional negeri ini ternyata mengajarkan satu moralitas: hidup wajib dicukupi, tetapi haram dilebih-lebihkan. Berkah tuhan dan kekayaan alam bukan untuk kita keruk seseorang. Manusia makhluk sosial. Siapa pun mesti menenggang siapa pun.

Alternatif kapitalisme

Moralitas berdagang “Bang Uki” tentu bertentangan dengan apa yang kini menjadi moral dasar perekonomian material-kapitalistik. Di mana prinsip laissez faire atau free will dan free market digunakan tak hanya mendesak setiap orang untuk “mendapatkan sebanyak-banyaknya dengan ongkos sesedikit mungkin”. Satu spirit yang nyaris menjadi kebenaran universal dan hampir tak ada daya tolak atau daya koreksinya.

Dan siapa pun mahfum dengan segera, prinsip dan moralitas ekonomi modern itu bukan hanya melahirkan orang-orang yang sangat kaya, bahkan keterlaluan kayanya (semacam pembeli Ferrari seharga Rp. 5 milliar yang mubazir di Jakarta yang macet), tetapi sejumlah besar orang yang hingga kini tak bisa menjamin apakah ia dapat makan atau tidak hari ini.

Moralitas kapitalistik hanya menyediakan satu jalur sosial berupa filantrofisme, yang umumnya hanya berupa ”pengorbanan” material yang hampir tiada artinya dibanding kekayaan bersih yang dimilikinya. George Soros, misalnya dengan kekayaan 11 milliar dolar AS (hampir sepertiga APBN Indonesia), mengeluarkan 400 juta dolar (hanya sekitar 4 persen atau setara dengan bunga deposito) untuk berderma dan menerima simpati global di sekian puluh negara.

Dan siapa peduli, bagaimana seorang Bill Gates, Rupert Murdoch, Liem Sioe Liong atau Probosutedjo menjadi begitu kayanya. Moralitas dasar kapitalisme di atas dasar “legal” untuk mengamini kekayaan itu. Betapapun, boleh jadi, harta yang amat berlebih itu diperoleh dari cara-cara kasar, telengas, illegal bahkan atau langsung dan tak langsung dari merebut jatah rezeki orang lain.

Dan siapa mampu mencegah atau menghentikannya? Pertanyaan lebih praktis adalah: siapa berani? Tak seorang pun. Hingga sensus mutakhir menyatakan adanya peningkatan jumlah harta orang-orang kaya dunia sebanding dengan peningkatan jumlah orang yang papa. Belahan kekayaan ini sudah seperti palung gempa yang begitu dalamnya.

Lalu di mana Bang Uki? Ia tak ada di belahan mana pun yang tersedia. Ia ada dan memiliki dunianya sendiri. Yang mungkin aneh, alienatif, marginal, tersingkir, luput, apa pun. Namun sesungguhnya, ia adalah sebuah alternatif. Bukan musuh, lawan, atau pendamping kapitalisme. Ia adalah sebuah tawaran yang membuka kemungkinan di tengah kejumudan (tepatnya ketidakadilan) tata ekonomi dunia saat ini.

Ekonomi cukup


Prinsip “hidup yang cukup” Bang Uki adalah landasan bagi sebuah “ekonomi cukup” di mana manusia tidak lagi mengeksploitasi diri (nafsu)-nya sendiri, juga lingkungan hidup sekitarnya. Ia mengeksplorasi potensi terbaiknya untuk memenuhi keperluan manusia, sebatas Tuhan-yang mereka percaya-menganjurkan atau membatasinya.

Bagaimana “cukup” itu didefinisi atau dibatasi, tak ada-bahkan tak perlu-ukuran dan standar. Seorang pengusaha dan profesional dapat mengukur dirinya sendiri dengan jujur: batas “cukup” bagi dirinya. Jika bagi dia dengan keluarga beranak dua, pembantu dua, tukang kebun, satpam atau lainnya, merasa cukup dengan sebuah rumah indah, dua kendaraan kelas menengah, mengapa ia harus lebih? Mengapa ia harus melipatgandakannya?

Apalagi jika usaha tersebut harus melanggar prinsip hidup, nilai agama, tradisi dan hal-hal lain yang semula ia junjung tinggi?

Andaikan, sesungguhnya ia mampu menghasilkan puluhan milliar tabungan, sekian rumah mewah peristirahatan bahkan jet pribadi, dapat dipastikan hal itu akan menjadi beban. Bukan melulu saat ia berupaya meraihnya, tetapi juga saat mempertahankannya.

Bila pengusaha tersebut berhasil men”cukup”kan dirinya, secara langsung ia telah mengikhlaskan kekayaan lebih yang tidak diperolehnya (walau ia mampu) untuk menjadi rezeki orang lain. Ini sebuah tindak sosial. Dan tindak tersebut akan bernilai lebih jika “kemampuan lebihnya” itu ia daya gunakan untuk membantu usaha atau sukses orang lain. Sambil menularkan prinsip “ekonomi cukup”, ia akan merasa “sukses” atau kemenangan hidup yang bernuansa lain jika ia berhasil membantu sukses orang lain dan tak memungut serupiah pun uang jasa.

Dan seorang pejabat, hingga presiden sekalipun, dapat mendefinisikan “cukup” baginya: jika seluruh kebutuhan hidupku, hingga biaya listrik, gaji pembantu hingga pesiar telah ditanggung negara, buat apa lagi gaji besar kuminta? Moralitas seperti ini adalah sebuah revolusi. Dan revolusi membutuhkan keberanian, kekuatan hati serta perjuangan tak henti.

Maka, “cukuplah cukup”. Kita sederhanakan sebagai prinsip hidup/ekonomi yang “sederhana”. Kian sederhana, maka kian cukup kian sejahteralah kita. Ukurannya? Yang paling sederhana, usul saya: semakin tinggi senjang jumlah konsumsi dibanding jumlah produksi kita sehari-hari, makin sederhana, makin cukup dan sejahteralah kita.

Jika Anda mampu membeli Ferrari, mengapa tak mengkonsumsi Mercedes seri E saja, atau Camry lebih baik, atau Kijang pun bisa. Dan dana lebih, bisa anda gunakan untuk tindak-tindak sosial, untuk membuat harta Anda bersih, aman, dan hidup pun nyaman penuh senyuman.
Beranikah Anda? Berani kita? Tak usah berlebih, kita cukupkan saja.


Radhar Panca Dahana
Satrawan

Monday, May 01, 2006

Sayangilah Ibumu!

Ketika itu, Tuhan telah bekerja enam hari lamanya.

Kini giliran Seorang malaikat menghampiri Tuhan dan berkata lembut : "Tuhan, banyak nian waktu yg Tuhan habiskan untuk menciptakan ibu ini ?" Dan Tuhan menjawab pelan: "Tidakkah kau lihat perincian yang harus dikerjakan ? diciptakan para ibu.

01) Ibu ini harus waterproof (tahan air/cuci) tapi bukan dari plastik.
02) Harus terdiri dari 180 bagian yang lentur, lemas dan tidak cepat capai
03) Ia harus bisa hidup dari sedikit teh kental dan makanan seadanya untuk mencukupi kebutuhan anak-anaknya
04) Memiliki kuping yang lebar untuk menampung keluhan anak-anaknya.
05) Memiliki ciuman yang dapat menyembuhkan dan menyejukan hati anaknya.
06) Lidah yang manis untuk merekatkan hati yang patah, dan
07) Enam pasang tangan!! ---

Malaikat itu menggeleng-gelengkan kepalanya "Enam pasa ng tangan....? tsk tsk tsk" "Tentu saja ! Bukan tangan yang merepotkan Saya, melainkan tangan yang melayani sana sini, mengatur segalanya menjadi lebih baik...." balasTuhan.

08) Juga tiga pasang mata yang harus dimiliki seorang ibu.

"Bagaimana modelnya ?" Malaikat semakin heran. Tuhan mengangguk-angguk.

"Sepasang mata yang dapat menembus pintu yangtertutup rapat dan bertanya : "Apa yang sedang kau lakukan di dalam situ?", padahal sepasang mata itu sudah mengetahui jawabannya.

"Sepasang mata kedua sebaiknya diletakkan di belakang kepalanya, sehingga ia bisa melihat ke belakang tanpa menoleh. Artinya, ia dapat melihat apa yang sebenarnya tak boleh ia lihat dan sepasang mata ketiga untuk menatap lembut seorang anak yang mengakui kekeliruannya. Mata itu harus bisa bicara!

Mata itu harus berkata : "Saya mengerti dan saya sayang padamu". Meskipun tidak diucapkan sepatah kata pun.

"Tuhan", kata malaikat itu lagi, "Istirahatlah" "Saya tidak dapat, Saya sudah hampir selesai"

09) Ia harus bisa menyembuhkan diri sendiri kalau ia sakit.
10) Ia harus bisa memberi makan 6 orang dengan satu setengah ons daging.
11) Ia juga harus menyuruh anak umur 9 tahun mandi pada saa t anak itu tidak ingin mandi....

Akhirnya Malaikat membalik balikkan contoh Ibu dengan perlahan.

"Terlalu lunak", katanya memberi komentar.
"Tapi kuat", kata Tuhan bersemangat.
"Tak akan kau bayangkan betapa banyaknya yang bisa ia tanggung, pikul dan derita.
"Apakah ia dapat berpikir ?" tanya malaikat lagi.
"Ia bukan saja dapat berpikir, tapi ia juga dapat memberi gagasan, ide dan berkompromi", kata Sang Pencipta. Akhirnya Malaikat menyentuh sesuatu di pipi.

"Eh, ada kebocoran disini" "Itu bukan kebocoran", kata Tuhan. "Itu adalah air mata.... air mata kesenangan, air mata kesedihan, air mata kekecewaan, air mata kesakitan, air mata kesepian, air mata kebanggaan, air mata...., air mata...."

Akhirnya Malaikat berkata pelan pada pembaca.........: "JIKA KAMU MENCINTAI IBU MU KIRIMLAH CERITA INI KEPADA ORANG LAIN, AGAR SELURUH ORANG DI DUNIA INI DAPAT MENGHORMATI, MENCINTAI DAN MENYAYANGI IBUNYA"